Beranda | Artikel
Diterimanya Taubat  
Senin, 20 Januari 2020

DITERIMANYA TAUBAT

Pertanyaan
Saya telah melakukan dosa besar dan aku telah beristighfar serta berdoa kepada Allah agar berkenan untuk mengampuni dosa tersebut, maka apakah taubat saya dari dosa tersebut akan diterima ?

Khususnya saya merasa taubat saya belum diterima dan saya termasuk orang yang dimurkai, apakah ada isyarat-isyarat tertentu prihal diterimanya taubat ?

Jawaban
Alhamdulillah.

Pertama: Tidak diragukan lagi bahwa lupa dan teledor sudah menjadi tabiat manusia, dan bahwa manusia yang terkena beban taklif (kewajiban) tidak luput dari keteledoran dalam ketaatan, lupa dan lalai, salah dan lupa, dosa dan kesalahan, kita semua kurang, berdosa, bersalah, terkadang kita bersegera menuju Allah dan terkadang membelakangi-Nya, terkadang merasa diawasi oleh Allah terkadang kelalaian menguasai kita, tidak luput dari maksiat. Di antara kita bisa dipastikan jatuh kepada kesalahan, kita tidak maksum. Oleh karenanya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
رواه مسلم 2749

Demi Dzat yang jiwaku di tangannya, seandainya kamu sekalian tidak berbuat dosa sama sekali, niscaya Allah akan memusnahkan kalian. Setelah itu, Allah akan mengganti kalian dengan umat yang pernah berdosa. Kemudian mereka akan memohon ampunan kepada Allah dan Allah pun pasti akan mengampuni mereka.[HR Muslim 2749]

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda:

كلُّ ابنِ آدمَ خطَّاءٌ ، وخيرُ الخطَّائينَ التَّوَّابونَ
 رواه الترمذي (2499) وحسنه الألباني

Semua bani Adam adalah pelaku dosa, dan sebaik-baik pelaku dosa adalah mereka yang bertaubat”. [HR. Tirmidzi: 2499 dan dihasankan oleh Albani]

Dan termasuk bentuk kasih sayang Allah kepada manusia yang lemah ini adalah dibukanya pintu taubat bagi mereka dan menyuruhnya untuk kembali kepada-Nya, menghadap-Nya setiap kali dosa mendominasi dirinya dan maksiat telah mengotorinya, kalau bukan karena hal itu maka manusia akan terjerumus kepada kesulitan yang parah, tidak ada semangat lagi untuk mendekat kepada Tuhannya, harapan dari pengampunan-Nya telah terputus, taubat ini adalah menjadi konsekwensi dari kekurangan manusiawi dan menjadi bagian dari keteledoran manusiawi.

Allah telah mewajibkan taubat sesuai dengan pembagian umat ini: Yang bersegera melakukan kebaikan, pertengahan dalam ketaatan, dan yang mendzalimi diri sendiri dengan perbuatan haram.

Allah –Ta’ala- berfirman:

  وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. [An Nur/24: 31]

Allah –Ta’ala- juga berfirman:

  يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا تُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًاۗا 

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya”. [At Tahrim/66: 8]

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، تُوبُوا إِلى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ، فَإنِّي أتُوبُ فِي اليَوْمِ مِائةَ مَرَّةٍ
رواه مسلم/2702 من حديث الأغر المزني رضي الله عنه

Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampun kepada-Nya, karena sungguh saya bertaubat dalam satu hari sebanyak 100 kali”. [HR. Muslim: 2702 dari hadits Al Aghar Al Muzani –radhiyallahu ‘anhu-]

Allah –subhanahu wa ta’ala- rahmatnya begitu melimpah, kasih sayang-Nya meliputi semua para hamba-Nya, Dia Maha Santun tidak menyerang kita, tidak menyiksa kita, tidak menghancurkan keadaan kita, bahkan memberikan kesempatan kepada kita, dan menyuruh Nabi-Nya untuk mengumumkan kedermawan-Nya –subhanah-:

  قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Az Zumar/39: 53]

Dia juga berfirman sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada para hamba-Nya:

  أَفَلا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ  

Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [Al Maidah/5: 74]

Dia –‘Azza wa Jalla- juga berfirman:

  وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى 

Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar”. [Thaha/20: 82]

Dia –Jalla Sya’nuhu- juga berfirman:

 وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ  

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. [Ali Imran/3: 135]

Dia juga berfirman:

  وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءاً أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُوراً رَحِيماً 

Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [An Nisa/4: 110]

Allah –Ta’ala- telah mengajak untuk bertaubat kepada makhluk yang paling besar kesyirikan dan kemaksiatannya, mereka yang telah berkata bahwa Isa –‘alaihis salam- adalah anak Allah, Maha Tinggi Allah dari ucapan orang-orang zholim dengan ketinggian yang besar, maka Dia berfirman:

  أَفَلا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ 

Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [Al Maidah/5: 74]

Sebagaimana Dia juga membuka pintu taubat kepada orang-orang munafik yang mereka itu lebih buruk dari orang-orang kafir yang menyatakan kekafirannya dengan nyata, seraya berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرا * إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْراً عَظِيماً 

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar”. [An Nisa’/4: 145-146]

Di antara sifat-sifat Allah –Jalla wa ‘Ala- bahwa Dia Maha Penerima taubat dan bahagia dengan taubat tersebut sebagai bentuk kedermawanan dan kebaikan-Nya. Allah –Ta’ala- berfirman:

  وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ 

Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [Asy Syura/42: 25]

Dia juga berfirman:

  أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?”. [At Taubah/9: 104]

Dan dari Abu Hamzah Anas bin Malik Al Anshari –radhiyallahu ‘anhu- pembantu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

للهُ أَفْرَحُ بِتَوبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ سَقَطَ عَلى بَعِيرِهِ وَقَدْ أَضَلَّهُ في أَرْضٍ فَلاةٍ

Allah sangat bahagia dengan taubatnya hamba-Nya dari pada salah seorang dari kalian yang terjatuh dari ontanya dan kehilangan onta tersebut di tanah padang”. [Muttafaqun ‘Alaihi]

Dan di dalam riwayat Muslim: 2747 disebutkan:

للهُ أَشَدُّ فَرَحَاً بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضٍ فَلاةٍ ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا ، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطجَعَ في ظِلِّهَا وَقَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إَذْ هُوَ بها قَائِمَةً عِنْدَهُ ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ ، اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدي وَأَنَا رَبُّكَ ، أَخْطَاءَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

Allah sangat bahagia dengan taubatnya hamba-Nya saat ia bertaubat kepada-Nya dari pada salah seorang dari kalian yang menaiki binatang tunggangannya di padang pasir, lalu binatang tersebut lepas termasuk persediaan makanan dan minumannya, lalu orang tersebut berputus asa untuk menemukannya, lalu ia mendekati sebuah pohon berbaring di bawah naungannya dalam kondisi putus asa untuk menemukan hewan tunggangannya, dalam kondisi seperti itulah tiba-tiba hewan tunggangannya berdiri di sebelahnya, seraya memegang tali kendalinya lalu berkata karena sangat merasa bahagia: “Ya Allah Engkau adalah hambaku, dan aku adalah tuhan-Mu”, ia melakukan kesalahan karena sangat bahagia”.

Dan dari Abu Musa Abdullah bin Qais Al Asy’ari –radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إن اللهَ تَعَالى يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ وَيَبْسِطُ يَدَهُ في النَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ ، حَتَّى تَطْلِعُ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Sungguh Allah –Ta’ala- mengulurkan tangan-Nya pada malam hari agar pelaku kejahatan pada siang hari bertaubat, dan mengulurkan tangan-Nya pada siang hari agar pelaku kejahatan pada malam hari bertaubat sampai matahari terbit dari sebelah barat”. [HR. Muslim: 2759]

Dan dari Abu Abdirrahman bin Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

  إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لمَ ْيُغَرْغِرْ
رَوَاهُ الْتِّرْمِذِيُّ (3537) وحسنه الألباني

Sungguh Allah –‘Azza wa Jalla- menerima taubat seorang hamba selama nyawanya belum sampai tenggorokan”. [HR. Tirmidzi: 3537 dan dihasankan oleh Albani]

Kedua: Keberkahan taubat itu bisa datang cepat dan lambat, nampak dan tidak nampak, pahala bertaubat adalah kesucian hati, terhapusnya keburukan, dilipatgandakannya kebaikan, Allah –Ta’ala- berfirman:

  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ يَوْمَ لا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ 

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu“. [At Tahrim/66: 8]

Pahala bertaubat juga berupa kehidupan yang baik yang dinaungi iman, qana’ah (kecukupan), ridho, tuma’ninah, ketenangan, lapang dada, Allah –Ta’ala- berfirman:

  وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ 

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya”. [Huud/11: 3]

Pahala bertaubat juga berupa turunnya keberkahan dari langit, keberkahan dari bumi juga nampak, luasnya harta dan banyaknya anak, berkah meraih hasil, badan sehat, terjaga dari banyak bencana, Allah –Ta’ala- berfirman tentang Huud –‘alaihis salam-:

  وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَاراً وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ

Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” [Huud/11: 52]

Ketiga: Setiap orang yang bertaubat kepada Allah, maka Allah akan menerima taubatnya. Kelompok orang-orang yang bertaubat akan terus bergerak pada relnya menuju Allah tidak akan terputus sampai matahari terbit dari barat.

Ada orang yang bertaubat dari tukang palak di jalanan, ada juga yang bertaubat dari dosa keji kemaluan, ada juga yang bertaubat dari minuman keras, ada juga yang bertaubat dari narkotika, ada juga yang bertaubat dari memutus silaturrahim, ada juga yang bertaubat dari meninggalkan shalat atau malas shalat berjamaah, ada juga yang bertaubat dari berbuat durhaka kepada kedua orang tua, ada juga yang bertaubat dari riba dan suap, ada juga yang bertaubat dari mencuri, ada juga yang bertaubat dari mengalirkan darah, ada juga yang bertaubat dari memakan harta manusia dengan batil, ada juga yang bertaubat dari asap rokok, maka selamat kepada setiap orang yang bertaubat kepada Allah dari setiap dosa, dia seperti bayi yang baru lahir dengan taubatan nasuha.

Dari Abu Sa’id, Sa’d bin Malik bin Sanan Al Khudri –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa salam- bersabda:

كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنَ تَوْبَةٍ فَقَالَ لاَ ‏.‏ فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ فَقَالَ نَعَمْ وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللَّهَ فَاعْبُدِ اللَّهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ ‏.‏ فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللَّهِ ‏.‏ وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ ‏.‏ فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ قِيسُوا مَا بَيْنَ الأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ ‏.‏ فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ

Ada seorang laki-laki yang hidup pada masa sebelum kalian, ia telah membunuh 99 jiwa, lalu ia bertanya tentang siapa yang paling alim dari penduduk bumi ?, lalu ia diberitahu tentang seorang rahib (ahli ibadah), ia pun mendatanginya, seraya berkata bahwa dirinya telah membunuh 99 jiwa, apakah masih ada peluang untuk bertaubat ?, rahib itu menjawab: “Tidak”, lalu ia pun membunuh rahib tersebut jadi genap menjadi 100 jiwa. Lalu ia bertanya lagi tentang siapa yang paling alim dari penduduk bumi ?, ia pun diberitahukan kepada seorang ulama dan ia menyampaikan bahwa dirinya telah membunuh 100 jiwa, apakah masih ada kesempatan untuk bertaubat ?, beliau menjawab: “Ya, ada dan siapa mampu menghalangi antara dia dengan taubat ?, pergilah kamu pada suatu tempat karena di sana ada orang-orang yang beribadah kepada Allah, maka sembahlah Allah bersama masayarakat di sana, dan jangan kembali ke kampong halamanmu, karena daerah tersebut adalah lingkungan yang buruk. Ia pun melakukan perjalanan tersebut, hingga sampai di pertengahan jalan ajal datang menjemputnya. Malaikat rahmat dan malaikat adzab beradu argument. Malaikat rahmat berkata: “Ia datang sebagai orang yang bertaubat menuju dengan hatinya kepada Allah –Ta’ala-. Malaikat adzab berkata: “Ia belum pernah mengamalkan kebaikan sama sekali”. Lalu ada seorang malaikat lain berwujud manusia, mereka berdua menjadikannya sebagai seorang hakim, lalu ia berkata: “Ukurlah jarak antara dua daerah tersebut, maka kemana jarak yang lebih dekat ?, lalu mereka mengukurnya dan mendapatkan bahwa dia lebih dekat ke tempat tujuan yang diinginkan, lalu diambil oleh malaikat rahmat”. [Muttafaqun ‘alaihi]

Dan di dalam riwayat Muslim: 2716

فَكانَ إلى القَرْيَةِ الصَّالِحَةِ أقْرَبَ مِنْها بشِبْرٍ، فَجُعِلَ مِن أهْلِه

 Ternyata dia lebih dekat satu jengkal kepada daerah yang baik, maka dia dijadikan sebagai penduduknya”.

Dan di dalam riwayat Bukhori: 3470

فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى هَذِهِ أَنْ تَقَرَّبِي وَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى هَذِهِ أَنْ تَبَاعَدِي وَقَالَ قِيسُوا مَا بَيْنَهُمَا فَوُجِدَ إِلَى هَذِهِ أَقْرَبَ بِشِبْرٍ فَغُفِرَ لَهُ

Maka Allah –Ta’ala- telah mewahyukan kepada tanah ini untuk mendekat dan mewahyukan kepada yang lainnya untuk menjauh lalu berfirman: “Ukurlah jarak antara keduanya !”, lalu didapati kepada (yang baik) jaraknya lebih dekat satu jengkal, seraya diampuni dosanya”.

Dan di dalam riwayat Muslim: 2766

  فنأى بصدره نحوه  

Maka ia bangkit bersegera ia menuju daerah tersebut”.

Taubat artinya kembali kepada Allah –Ta’ala- dan berlepas diri dari maksiat dan membencinya, menyesali ketelorannya dalam ketaatan, An Nawawi –rahimahullah- berkata:

“Taubat itu hukumnya wajib dari setiap dosa, jika maksiat tersebut antara seorang hamba dengan Allah –Ta’ala- tidak berkaitan dengan hak manusiawi, maka mempunyai tiga syarat:

  1. Membebaskan diri dari maksiat
  2. Menyesal telah melakukannya
  3. Berazam untuk tidak kembali melakukannya untuk selamanya

Jika berkurang salah satu dari tiga syarat tersebut maka taubatnya tidak sah.

Namun jika maksiat tersebut berkaitan dengan hak manusiawi, maka syaratnya menjadi empat hal, tiga syarat di atas dan yang keempat adalah dengan membebaskan diri dari hak sesamanya, jika berupa harta atau yang serupa maka ia kembalikan kepadanya, jika berupa had tuduhan (keji) atau yang serupa maka dengan cara mempersilahkan kepadanya untuk membalas atau meminta maaf darinya, dan jika berupa ghibah maka meminta untuk dihalalkan darinya. Dan diwajibkan untuk bertaubat dari semua dosa, dan jika bertaubat hanya dari sebagian dosa maka taubatnya tetap sah –menurut pendapat yang benar- dari dosa yang ia bertaubat darinya, dan dosa lainnya (yang ia belum bertaubat darinya) maka tetap utuh”.

Atas dasar itulah maka jika semua syarat tersebut terpenuhi pada diri orang yang bertaubat, maka taubatnya lebih memungkinkan untuk diterima dengan izin Allah –Ta’ala-, dan tidak selayaknya setelah itu terganggu dengan perasaan was-was bahwa taubatnya tidak diterima; karena hal itu berasal dari syetan dan bertentangan dengan yang disampaikan oleh Allah –subhanah- dan diberitakan oleh Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang penerimaan taubat jika pelakunya jujur dan ikhlas dalam taubatnya.

Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/14126-diterimanya-taubat.html